Mangga Tahun Depan

Serial Lala




Asyik, hari ini Ayah panen mangga. Pohon mangga yang ada di depan rumah sudah berbuah banyak sekali. Emh, apalagi sudah masak-masak. Emh pasti enak. Memang pohon mangga milik Lala ini tergolong unik. Kalau waktunya musim mangga, malah tidak mau berbuah. Tapi saat musim mangga sudah berakhir, baru pohon mangga yang ditanam ayah sejak lama ini mau berbuah.
“Ayah sebelah sana. Iya yang itu..” Seru Lala sambil menunjuk ke arah mangga yang ia incar. Ayah yang naik ke atas pohon pun kewalahan. Lala minta ini. Lalu bunda minta yang itu. Wah benar-benar melelahkan. Ah akhirnya selesai sudah. Semua buah mangga sudah di petik. Hanya tinggal beberapa buah mangga yang masih kecil saja yang dibiarkan tetap menggantung pada pohonnya.
“ Yah yang ini, buat nenek ya yah?” Sahut Lala sambil menyisihkan beberapa mangga.
“Iya, yang ini untuk para tetangga, yang ini buat teman-teman di toko. Ini buat teman-teman bunda dan yang ini teman-teman Lala.” Sahut Ayah sambil membagi rata buah mangga tersebut.
“Terus buat kita mana yah?” Tanya Lala. Bunda tersenyum.
“Kita 3 buah saja cukup sayang. Lagipula kan masih ada dipohon.” Sahut bunda.
“Tapi kan nunggu lama bun. Tapi nggak apa-apa lah. Sabar-sabar..” Seru lala menenangkan diri sendiri. Ayah dan bunda pun tersenyum tenang melihat tingkah putri semata wayangnya itu.
Dita, Alya dan beberapa teman yang lain asik menyantap pudding mangga buatan bunda. Lala hanya membiarkan teman-temannya menyantap pudding itu dengan nikmatnya. Maklum, Lala tidak menyukai pudding. Lala inginnya dibuat manisan. Tapi karena buah mangganya sudah matang, batal deh manisannya. Manisankan dari buah yang ranum. Lala membayang-mbayangkan, ia berencana kalau sisa mangga yang ada di pohon bakal ia ambil sebelum matang dan dibuat manisan. “glek..” Lala menelan ludah. Mungkin saking inginnya makan manisan.
Seperti biasa, setiap sore Lala selalu memperhatikan mangga yang masih tersisa di pohon.
“Satu, dua, tiga, empat, lima, enam. Wah lumayan.” Seru Lala
“Yang 4 sudah lumayan besar. Yang 2 masih kecil. Wah mantab, besok minta tolong ayah untuk memetiknya dan minta tolong bunda untuk membuatkan manisannya.” Sahut Lala tak sabar.
Lala tak sabar menunggu bel pulang berbunyi. Ia berencana sepulang sekolah, ia akan meminta ayah untuk memetik mangga yang telah ia idam-idamkan selama ini.
“Hari ini ayah kan pulang cepet. Hari ini kan hari sabtu. Wah besok minggu jadi makan manisan mangga buatan bunda. Emh, mak nyus…” Sahut Lala sambil membayangkan manisan mangga yang segar.
“ Ayo dong Bun, pulang” Ajak Lala.
“Iya sabar Lala. Kita tinggal bayar saja kok sayang.” Sahut bunda lembut.
Lala tak sabar. Tak biasanya sepulang sekolah Bunda mengajak Lala berbelanja. Biasa bunda belanja bahan-bahan roti untuk pesanan besok. Mana banyak lagi. Duh sepertinya Lala sudah tidak sabar menyantap manisan mangga.
“Lega, akhirnya selesai juga. Ayo Bun kita pulang.” Ajak Lala. Bunda pun mengangguk.
Senyum Lala terkembang, terlihat ayah yang sedang membersihkan daun-daun mangga yang berserakan. Ternyata belanja barusan memakan banyak waktu. Sampai-sampai ayah duluan yang sampai di rumah. Wajah lala terlihat berseri-seri. Benar saja, setelah turun dari motor bunda, Lala lalu meminta ayah memetik mangga yang sudah lama ia incar.
“Ayah, ayo tolong petikkan buah mangganya.” Sahut Lala sambil menarik tangan ayah.
“Iya, tapi yang mana sayang?” Tanya ayah.
“Yang it…….” Kalimat Lala terpotong ketika melihat mangga-mangganya hilang.
“Lho mangganya pada kemana yah.?” Tanya Lala hampir menangis.
“O… tadi tante putri kesini. Ngantar oven Bunda yang tante pinjam kemarin. Terus tante tahu mangga yang ada di situ. Terus minta tolong ayah untuk memetiknya. Ya sudah ayah petikkan” Jelas ayah.
Tiba-tiba tubuh Lala lemas. Hilang sudah harapannya untuk menikmati manisan mangga besok minggu.
“Memang kenapa sayang?” Tanya bunda.
“Lala sudah lama ingin manisan mangga Bun. Rencananya, Lala mau minta tolong bunda untuk bikin manisan mangga yang ada di situ. Tapi ternyata sudah hilang.” Seru Lala sambil meneteskan air mata.
“Lala kenapa tidak cerita sama ayah dan bunda? Kalau ayah dan bunda tahu kan, nggak akan terjadi seperti ini. Maaf ya Lala ya?” Sahut ayah lembut.
“Ya sudah, Lala sabar lagi ya, Tu sebentar lagi mangga yang itu juga besar.” Sahut ibu sambil menunjuk 2 mangga yang masih tersisa.” Sahut bunda. Lala pun mengangguk.
Hari berganti hari. Kini saatnya memetik buah mangga yang tersisa. Ah rasanya lega sekali memegang buah mangga yang sudah diincar selama ini. Tapi sayangnya mangga yang satunya bantat. Untung saja masih ada satu lagi. Emh, Lala tak sabar ingin segera menyantap buah mangga yang sekarang sedang dibawanya. Dari baunya saja sudah harum begini. Apalagi rasanya, Lala terus membayangkan.
“Ayo bunda kita buat manisan.” Ajak Lala tak sabar.
“Iya sayang, ini kotorannya di bersihin dulu.” Seru bunda sambil memunguti daun-daun yang berserakan.
“O iya,” Seru lala sambil menepuk keningnya.
Tiba-tiba ada seorang anak kecil sebaya dengan Lala.
“Assalamualaikum.” Seru anak kecil itu. Lala menatap Anak kecil itu. Sepertinya ia tidak asing dengan sosok anak itu.
“Emh maaf La, aku Dika anak 4A, “ Sahut Dika.
“O iya-iya…napa ya dik?” Tanya Lala.
“ Gini lho La, Kakakku sekarang sedang hamil dan lagi nyidam mangga. Beberapa hari ini aku dan kakak mencari mangga kemana-mana tetapi nggak ada. Kata penjualnya, sudah tidak musim lagi. Dan kebetulan kemarin aku dikasih tahu Rizki kalau di rumah Lala sedang ada panen mangga. Jadi aku kesini, dan kalau boleh, aku boleh tidak meminta mangga lala untuk kakakku?” Tanya Dika berharap.
Lala hanya cengar-cengir. Lala sebenarnya tidak tega, ia jadi teringat waktu Tante Ita hamil, yang merupakan adik Papa juga kaya gitu. Cuma ingin buah carica aja, sampai harus nyari ke Dieng. Pokoknya orang hamil itu repot. Kata Nenek, kalau tidak dituruti, nanti anaknya jadi ngecesan. Duh, Lala jadi tambah tidak tega. Ayah dan Bunda yang melihatnya pura-pura tidak tahu.
“Tapi sepertinya sudah tidak berbuah lagi ya La? Ya sudah nanti biar kakak minum minuman kotak yang rasa mangga saja. Maaf ya La sudah mengganggu.” Sahut Dika.
Duh gimana ni, di satu sisi Lala tidak tega, tapi bagaimana dengan rencana untuk membuat dan menikmati manisannya? Lala bingung.
“Dik tunggu, Ini masih ada mangga satu lagi. Tapi maaf cuma tinggal ini saja. Sebenarnya Lala ingin sekali membuat manisan mangga ini, tapi….” Sahut Lala terpotong.
“Ayo Bun, Lala mau ngasih mangganya apa tidak?” Bisik ayah pada bunda.
“Pasti yah. Lala kan anak yang manis.” Bisik bunda.
“Tapi ini buat Kakak dika saja. Biar Lala beli manisan di toko saja.” Sahut Lala sambil menyodorkan buah mangga tersebut. Wajah Dika terlihat berseri-seri. Betapa senangnya Dika.
“Terima kasih ya La, benar kata teman-teman, kamu itu baik. Kakak pasti senang. Makasih ya La. Tante, Om saya pamit pulang dulu. Terima kasih” Seru Dika sambil tersenyum riang.
“Tu kan Yah, Lala pasti mau berbagi.” Seru Bunda senang.
“Ayah bangga sayang. Memangnya Lala mau beli manisan di toko?” Goda Ayah.
“Nggak lah yah. Lala kan lebih suka manisan buatan bunda. Ya sudah lah nunggu setahun lagi tidak apa-apa.” Seru lala sambil tersenyum.
“Biarlah, walaupun tahun ini lala tidak bisa menikmati manisan dari hasil sendiri, yang penting Lala lega bisa menolong Kakak Dika. Semoga saja adik bayinya tidak ngecesan. Hi.hi.hi. Amin.” Seru Lala dalam hati sambil memunguti daun-daun mangga yang berserakan.

Sang Penulis Cilik

Serial Lala





Malam ini Lala terpaksa harus belajar sendiri. Biasanya bunda selalu menemani Lala belajar. Tapi untuk hari ini sepertinya bunda sibuk dengan cerita karangannya. Bunda memang senang menulis. Tapi entah karangan apa yang bunda tulis. Kata ayah cerita karangan bunda bagus-bagus dan lucu-lucu. Tapi sayang, bunda hanya menyimpan cerita karangannya di dalam komputer. Ayah sudah sering mengingatkan bunda untuk mengirimkan cerita-cerita karangan bunda pada majalah anak. Tapi Bunda hanya membalas dengan senyuman.
Lala pernah bertanya pada tante Putri, adik Bunda. Kata tante putri, selain menjadi sekretaris, untuk sampingan, bunda juga menjadi penulis cerita di sebuah majalah anak-anak. Pada saat itu banyak yang suka cerita bunda. Tapi semenjak Lala lahir, Bunda lebih memilih fokus terhadap Lala. Dulu Lala sering sakit-sakitan, jadinya bunda lebih memilih untuk menjaga Lala. Ah, tiba-tiba ada rasa haru dalam hati Lala. Betapa bersyukurnya Lala memiliki orang tua yang begitu sayang padanya.
Lala telah selesai mengerjakan tugas dari Bu Rina. Bahasa Indonesia. Ya Lala juga menyukai pelajaran menulis, Lala akan terlihat bersemangat jika ia mendapat tugas mengarang. Rupanya Lala juga menyimpan bakat seperti Bunda. Suka menulis. Ya namanya juga anaknya. Buah pasti jatuh tak jauh dari pohonnya. Iya kan?
Lala kemudian mendekati bunda yang sedang sibuk menulis. Kali ini Lala terlihat penasaran.
“Bunda…” Panggil Lala lirih.
“Iya sayang..” sahut bunda yang kemudian menghentikan aktifitas mengetiknya. Suara bunda yang lembut begitu terasa hangat di telingga Lala. Membuat Lala semakin sayang pada Bunda. Tiba-tiba Lala memeluk bunda. Bunda yang dipeluk pun membalas pelukan anak tersayangnya itu.
“Ada apa sayang?” Tanya bunda. Lala menggeleng.
“Lala Cuma kangen Bunda…?” Sahut Lala manja.
“Lho kenapa?” Tanya bunda lagi.
“Biasanya bunda kan selalu menemani Lala belajar dan mengajari Lala mengarang cerita.” Seru Lala. Bunda kembali tersenyum.
“Lho Lala kan sudah pandai mengarang cerita sendiri sayang.” Seru Bunda.
“Coba sini bunda lihat karangan Lala.” Seru bunda. Lala pun segera menyerahkan hasil menulisnya. Bunda pun membacanya dengan seksama.
“Bagus sayang, Lala pandai sekali..” Seru bunda bangga. Dari sofa ruang keluarga terlihat ayah yang ikut tersenyum.
“Ternyata anak ayah berbakat menulis juga seperti bunda. Wah bisa-bisa nanti toko buku ayah hanya menjual buku-buku dari bunda dan Lala lagi.” Seru Ayah mulai bercanda yang kemudian memecahkan tawa keluarga kecil itu.
Lala senang sekali, barusan Bu Rina mengumumkan nilai terbaik untuk pelajaran mengarang. Dan yang dapat nilai terbaik adalah Lala. Ia bukan hanya senang karena mendapatkan nilai bagus. Tapi ia juga senang, sebab ia memiliki bakat yang sama dengan bunda. Lala ingin seperti bunda, ingin berbagi dengan cerita-cerita yang menarik kepada semua orang.
Tak terasa hari minggu tiba. Sesudah sarapan pagi, seperti biasa Lala selalu membantu bunda mencuci piring. Kemarin sabtu Ayah pulang agak malam. Jadi berkunjung ke rumah nenek diganti hari ini. Hari ini Lala bersemangat ingin cepat-cepat kerumah nenek. Rasanya tak sabar untuk mendengar cerita-cerita nenek.
“Pasti seru” Pekiknya dalam hati.
Ayah, bunda dan Lala pun telah siap untuk berkunjung ke rumah nenek. Tiba-tiba ada sebuah mobil pic up hitam berhenti di depan rumah Lala. Seorang laki-laki sebaya dengan umur ayah mendatangi rumah Lala.
“Selamat siang, benar ini rumah adik Aila Ariza Darmanegara?” Tanya laki-laki itu.
“Iya benar. Ini anak saya.” Sahut ayah. Laki-laki itu pun kemudian tersenyum.
“Selamat adik memenangkan lomba mengarang cerita anak kategori SD yang diselenggarakan majalah Dodo 3 bulan kemarin. Tepatnya bulan april. Dan adik terpilih sebagai kategori cerita faforit 1. Sebagai hadiahnya, sepeda biru itu akan jadi milik adik.” Seru Laki-laki itu seraya menunjuk sepeda yang masih terpampang cantik di belakang mobil pic up. Terlihat ada salah satu temannya yang menurunkan sepeda biru itu.
“Adik tinggal tanda tangan di sini sebagai tanda telah diterimanya sepeda ini ke tangan adik.” Sahut Laki-laki itu lagi.
Lala Nampak bingung. Ia merasa tidak pernah mengikuti lomba tersebut. Sebaliknya dengan ayah. Ayah terlihat senang dan bangga terhadap putri semata wayangnya itu.
“Ayah, Lala tidak pernah mengikuti lomba di majalah Dodo.” Sahut Lala. Ayah tersentak kaget.
“Lalu sepeda ini, nama ini kan benar nama Lala. Alamatnya juga sama.” Sahut ayah masih bingung. Lalu keduanya melihat kearah bunda. Tampak senyum bunda mengembang di sana.
“Iya, bunda yang telah mengrim hasil karangan Lala ke majalah Dodo. Habis ceritanya bagus. Bunda jadi gemas. Kebetulan ada lomba mengarang anak-anak, ya bunda ikutkan saja tulisan Lala. Dan benar kan dugaan bunda. Anak bunda pasti menang.” Aku bunda yang sedari tadi hanya senyam senyum.
“Bunda…..” Seru Lala antara gemas dan manja. Ayahpun ikut tersenyum lega. Kemudian diterimanya hadiah dari hasil tulisannya tersebut dengan perasaan bangga.
Bukan sepeda yang membuatnya bangga. Tapi tulisannya lah yang telah membuatnya bangga. Ia telah membuktikan bahwa kelak ia juga bisa seperti bunda tersayangnya.
Mobil pic up tadi pun meluncur meninggalkan rumah Lala masih dengan dua sepeda yang terpampang disana. Lala tersenyum.
“Itu pasti untuk juara faforit yang lainnya. Selamat ya?” Sahut Lala dalam hati
“Wah anak ayah sekarang jadi penulis cilik.” Seru ayah bangga. Bunda tersenyum dengan penuh kasih. Hari ini akan ada cerita untuk nenek.
“Nenek pasti senang..” Serunya dalam hati.